Ketua Komisi II DPR Usul Pemilu dan Pilkada Digelar Beda Tahun Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, melempar wacana strategis yang cukup mencuri perhatian publik dan pemerhati politik nasional. Dalam sebuah rapat kerja bersama KPU, Bawaslu, dan Kemendagri, Doli mengusulkan agar pemilu dan pilkada tidak lagi diselenggarakan di tahun yang sama. Menurutnya, pemisahan waktu pelaksanaan akan memberikan dampak positif bagi penyelenggara, peserta, dan masyarakat.
Wacana ini mencuat setelah berbagai evaluasi pelaksanaan Pemilu 2024 yang dinilai terlalu padat, melelahkan, dan penuh tekanan baik secara teknis maupun psikologis. Usulan tersebut langsung menuai reaksi dari berbagai pihak, mulai dari partai politik hingga pengamat demokrasi.
Latar Belakang Usulan: Belajar dari Pemilu 2024 Ketua Komisi II DPR
Pemilu dan Pilkada Digelar Serentak, Bebani Penyelenggara
Pada Pemilu 2024, Indonesia menggelar pemilihan legislatif, presiden, dan pilkada dalam rentang waktu yang sangat berdekatan. Hal ini memicu keluhan dari banyak pihak mengenai beban kerja yang luar biasa tinggi bagi KPU, Bawaslu, dan bahkan aparat keamanan.
Doli menyatakan bahwa dengan memisahkan tahun pemilu dan pilkada, fokus penyelenggara akan lebih terjaga dan kualitas demokrasi dapat ditingkatkan.
“Penyelenggara pemilu sangat kewalahan. Ini bukan soal teknis semata, tapi menyangkut kesehatan kerja dan kualitas demokrasi kita ke depan,” ujar Doli saat konferensi pers di DPR, Senin (29/4/2025).
Usulan Skema Baru: Pemilu dan Pilkada Selang Satu Tahun
Pemilu Nasional Dulu, Pilkada Menyusul
Berdasarkan usulan Komisi II, skema yang diajukan adalah sebagai berikut:
- Pemilu Presiden dan Legislatif tetap digelar lima tahun sekali pada tahun genap
- Pilkada (Gubernur, Bupati/Walikota) dilaksanakan satu tahun setelahnya pada tahun ganjil
Dengan skema ini, pemilu nasional dan lokal tidak tumpang tindih. Penyelenggara memiliki waktu jeda untuk konsolidasi dan evaluasi.
Respons KPU dan Bawaslu
Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari, menyambut baik diskusi mengenai evaluasi jadwal pemilu. Namun ia menekankan bahwa perubahan jadwal tersebut memerlukan revisi undang-undang, khususnya UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Sementara itu, Bawaslu menyatakan perlu ada kajian mendalam agar usulan tidak menimbulkan kebingungan hukum dan konflik jadwal antar-daerah.
“Jangan sampai kita memperbaiki satu sisi, tapi menciptakan masalah baru di sisi lain,” kata anggota Bawaslu RI, Lolly Suhenty.
Pro dan Kontra: Efisiensi vs Efektivitas Biaya
Pro:
- Fokus kerja penyelenggara lebih terarah
- Masyarakat tidak dibingungkan oleh terlalu banyak pemilihan
- Waktu kampanye bisa lebih efektif dan efisien
Kontra: Ketua Komisi II DPR
- Biaya negara bisa bertambah karena dua kali hajatan besar
- Potensi menurunnya partisipasi publik di pilkada
- Perlu penyesuaian ulang masa jabatan kepala daerah
Beberapa pengamat menilai bahwa meskipun skema pemilu serentak cukup berat, tapi lebih efisien dari sisi anggaran. Namun dari sisi kualitas pemilu, usulan pemisahan bisa menjadi langkah reformasi penting.
Apa Selanjutnya?
Untuk merealisasikan usulan ini, DPR bersama Pemerintah harus terlebih dahulu melakukan revisi UU Pemilu dan Pilkada. Hal ini tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa karena menyangkut kepastian hukum dan tahapan penyelenggaraan pemilu.
Komisi II berjanji akan membuka ruang diskusi publik secara luas dalam waktu dekat untuk menyerap masukan dari masyarakat sipil, akademisi, hingga penyelenggara pemilu daerah.
Usulan Ketua Komisi II DPR yang Perlu Pengawalan Serius
Wacana pemisahan tahun antara pemilu dan pilkada bukan sekadar soal teknis penyelenggaraan. Ini adalah bagian dari upaya memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia. Meski belum final, langkah Ketua Komisi II DPR membuka pintu bagi reformasi pemilu yang lebih terstruktur, sehat, dan berkeadilan.